Dulu, kita pasti pernah
mendengar bahwa Indonesia adalah paru-paru dunia, dikarenakan hutan Indonesia
yang menghijau dari sabang sampai merauke. Bahkan, katanya bila hutan kita
terbakar sedikit saja, maka bukan hanya kita masyarakat Indonesia saja yang
marah dan mengutuk, tapi banyak warga luar yang ikut marah. Wahh, mendengar hal ini aku nggak bisa bayangin betapa bangganya aku akan
Indonesia. Tapi, hal tersebut sepertinya tidak berlaku lagi saat ini. Apalagi
setelah hutan kita terbakar secara besar-besaran beberapa waktu yang lalu.
Sumber : Google |
Kini hutan Indonesia yang luas
hanya tinggal cerita orang tua pada anaknya, saat tidur di malam hari. Miris
sekali! Apabila hal ini terjadi terus-menerus, apakah tidak mungkin hutan kita
akan hilang? Hutan adalah sumberdaya alam yang selama ini menyediakan sumber
kehidupan. Hutan bukanlah sumberdaya alam yang harus dieskploitasi
terus-menerus. Tanpa hutan tidak ada binatang, tanpa hutan tidak ada air, tanpa
hutan tidak ada oksigen, tanpa hutan tidak ada manusia.
Manusia adalah makhluk yang
selalu tidak pernah puas, aku sempat berfikir bahwa hutan kita terbakar, atau
ditebang secara membabi buta adalah karena keserakahan dari umat manusia yang
tidak pernah puas akan materiil,
seperti keuntungan dan uang. Mungkin, benar apa kata pepatah bijak dari Suku
Indian, bahwa ketika pohon terakhir ditebang, ketika sungai terakhir
dikosongkan, ketika ikan terakhir ditangkap, barulah manusia akan menyadari
bahwa dia tidak dapat memakan uang. Lalu apakah kita harus benar-benar
bertindak setelah semua hutan kita lenyap? Mengelola hutan harus dilakukan
secara bijaksana, agar kehidupan sumberdaya alam berjalan dengan semestinya.
Dan hubungan timbal balik kita dengan alam dan hutan pun dapat terbina dengan
baik, sesuai dengan perputaran ekosistem yang seharusnya.
Seperti hutan hujan di wilayah
Indonesia sebagai salah satu tempat tinggal bagi banyak spesies hewan, tanaman,
sumber pendapatan masyarakat lokal, pemasok air selama beberapa dekade, dan
sebagainya. Betapa kita sangat tergantung pada hutan, tapi kita malah melakukan
kerusakan terhadap hutan. Salah satunya dikarenakan permintaan komoditas yang
sangat besar seperti tissue, kertas, minyak sawit dan karet, yang menyebabkan
hutan kita berubah menjadi perkebunan monokultur yang luas. Pastinya hal ini
berdampak pada hutan, misalnya adanya pembabatan hutan secara liar, pembakaran
hutan untuk membuka lahan baru, dan hal ini banyak menyebabkan kerusakan
terhadap hutan kita.
Walaupun begitu, beberapa dari
perusahaan telah menyadari hal tersebut, dan ikut prihatin dengan kejadian
tersebut, dan melakukan tindakan yaitu membuat komitmen untuk menghentikan
tropis deforestasi, misalnya perusahaan
Unilever yang sudah membuat komitmen nol
deforestasi.
Kita bisa ikut mendukung
tindakan tersebut dengan, tidak memakai produk yang dihasilkan dari deforestasi
atau hal-hal yang menyebabkan kerusakan hutan, walaupun kita pasti kesulitan
untuk mengetahui apakah produk yang kita pakai ada kaitannya dengan deforestasi atau tidak.
Beberapa waktu yang lalu, telah diluncurkan sebuah metodologi gabungan baru yang berlaku secara global untuk melindungi alam dan mengidentifikasi lahan-lahan yang dapat diolah sebagai areal produksi komoditas. Metodologi ini dluncurkan oleh koalisi antara industri dan organisasi non pemerintah (LSM) di Bali pada tanggal 3 Mei 2017 lalu.
Para pemangku tanggung jawab
tersebut telah berhasil mengubah ambisi mereka menjadi perubahan nyata dalam
bentuk sebuah metodologi praktis, dikenal dengan High Carbon Stock Approach,
sebagai kombinasi dari ekologi, sosial dan beberapa aspek ekonomi .
High
Carbon Stock (HCS) Approach Toolkit
merupakan sebuah terobosan bagi berbagai perusahaan, masyarakat, insitusi, dan
praktisi teknis yang memiliki komitmen bersama untuk melindungi hutan alam
sekunder yang tengah mengalami regenerasi. HCS Approach bertujuan
mengidentifikasi hutan dalam bentuk landscape.
Sehingga memudahkan dalam mengklasifikasikan kawasan hutan.
Untuk melindungi hutan, kita harus tahu termasuk strata mana kah hutan tersebut? |
Pada peluncuran toolkit tersebut, Grand Rosoman, selaku Co-Chair dari High Carbon Stock (HCS)
Streering Group menjelaskan bahwa
membiarkan deforestasi atau
pembabatan hutan atau alam demi perkebunan sudah merupakan suatu hal yang
dilakukan pada masa lalu. Saat ini, telah diluncurkan sebuah toolkit dengan metodologi yang
memberikan panduan teknis yang praktis dan terbukti kuat secara ilmiah. Dan
dapat mengidentifikasi dan melindungi hutan alam tropis.
Selama dua tahun, mereka telah
menyatukan berbagai upaya untuk menyepakati satu-satunya pendekatan global dalam
menerapkan praktek ‘non-deforestasi’. Metodologi tersebut telah memperluas
persyaratan sosialnya, pengenalan dan penerapan terhadap data cadangan karbon.
Hal ini telah mencakup teknologi baru termasuk penggunaan LiDAR, untuk
mengoptimalisasi koservasi dan hasil produksi serta dapat diadaptasi bagi
petani-petani kecil.
Tambahnya, koalisi unik ini
telah bersatu dalam menangapi meningkatnya kekhawatiran akan dampak pembabatan
hutan alam tropis terhadap iklim, satwa dan hak-hak masyarakat yang
menggantungkan hidupnya pada hutan. High Carbon Stock (HCS) Streering Group
menyambut positif atas diterapkannya metodologi ini dalam skala yang luas untuk
mendukung hak-hak dan mata pencarian masyarakat lokal. Selain itu, untuk
menjaga kadar karbon hutan dan keanekaragaman hayati serta kegiatan
pengembangan terhadap lahan-lahan olahan yang dilakukan secara bertanggung
jawab.
Hcs
approach toolkit versi 2.0
Seperti telah dijelaskan di
atas, bahwa toolkit ini merupakan
pembaharuan dari versi sebelumnya. Versi pertama dari HCS Approach Toolkit
sebelumnya telah dirilis pada April 2015. Versi baru dari HCS Approach yang
telah disempurnakan telah meliputi beberapa hal berikut :
- Penelitian ilmiah terbaru,
- Evaluasi dari percobaan lapangan,
- Adanya topic-topik baru,
- Masukan dari berbagai kelompok kerja HCS Approach Steering Group
Sumber: Twitter High Stock Carbon |
Toolkit versi 2.0 ini juga
menyajikan penyempurnaan, penambahan dan perubahan-perubahan penting pada metodologinya. Sebagai hasil dari ‘Kesepakatan Konvergensi’ antara HCS Approach
dan HCS Study yand telah dilaksanakan pada November 2016 lalu. Dengan telah
dilengkapinya HCS Approach Toolkit Versi 2.0, HCS Steering Group saat ini dapat
fokus pada uji coba metodologinya. Hal ini dimasudkan supaya dapat disesuaikan
bagi para petani kecil, serta memperkuat persyaratan sosial yand dikembangkan
sebagai bagian dari proses konvergensi
HCS.
HCS
STEERING GROUP
HCS Approach Steering Group
adalah sebuah organisasi yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan yang
dibentuk pada awal tahun 2014 untuk mengelola HCS Approach. Steering Group (SG)
dibentuk agar dapat mengawasi pengembangan selanjutanya dari metodologi
tersebut. Salah satunya adalah penyempurnaan terhadap definisi, objektif dan
hubungan dengan pendekatan-pendekatan lainnya. Hal ini dilakukan untuk
menghentikan praktek penggundulan hutan. SG pun memandu implementasi dari
metodologi tersebut, berkomunikasi/berinteraksi dengan para pemangku
kepentingan dan mengembangkan/menjalankan pengelolaan terhadap model dari
metodologi tersebut.
Jadi, bagi perusahaan,
masyarakat, insitusi, dan praktisi teknis yang akan melakukan penggarapan
terhadap hutan, harus mengikuti metodologi praktis ini sehingga memudahkan
untuk mengetahui lahan-lahan mana saja yang bisa diolah. Bagi yang penasaran
dengan metodologi High Carbon Stock
Approach bisa mengunduh toolkit tersebut di sini.
Jangan lupan untuk mengikuti HCS Approach di Twitter @Highcarbonstock